“The Minjung Thelogy” JALAN MENUJU KEMERDEKAAN KOREA
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Penindasan dan
kekerasan sering terjadi dalam setiap wilayah, dimana kaum penguasa dan orang
kaya menindas yang miskin atau masyarakat biasa. Hal tersebut menimbulkan ketidaksamaan
derajat dalam lingkungan masyarakat yang bertolak belakang dengan hak asasi
manusia. Kemudian muncullah berbagai gerakan yang memusatkan perhatiannya pada
perjuangan persamaan kedudukan dalam setiap kursi kehidupan, baik dalam
bermasayarakat maupun di dalam dunia politik, seperti: Teologi Hitam, Teologi Pembebasan, Teologi Feminis, Teologi Minjung dan
Teologi Rakyat. Gerakan ini berdedikasi bagi pembebasan manusia yang tidak
mendapat tempat sebagaimana hak manusia semestinya. Keadaan yang bertolak
belakang dari harapan membuat para teolog menaruh perhatian pada masalah sosial
dengan cara menyeimbangkan kesamaan harkat dan martabat manusia secara spritual
dan sosial. Gerakan ini sudah dimulai dari Amerika Latin dan Afrika sebagai
akar dari lahirnya teologi tersebut, kemudian ke Asia dan negara-negara
lainnya. Gerakan ini sering disebut sebagai Teologi Dunia Ketiga (Third World Teologian).
Teologi dunia memusatkan
perhatian pada masalah sosial atau yang sering disebut sebagai Teologi pembebasan.
Teologi ini mengalami perkembangan dengan membentuk sebuah cara berteologi baru
dengan ciri pokok, yaitu:[1]
a.
Teologi
pembebasan telah memberi interpretasi kepada masyarakat dunia ketiga bahwa
berteologi secara bermutu harus didasarkan pada kehendak Tuhan yang
dilandasakan pada analisis sosial ekonomi, politik dan budaya.
b.
Teologi
pembebasan menunutut masyarakat berupa komitmen dan keterlibatan
pelaku/penganut teologi secara menyeluruh di dalam memperjuangkan kemerdekaan
dan kehidupan masyarakat Dunia Ketiga (The
Third Werledness).
Teologi yang telah
dirumuskan diatas berpijak pada masalah
sosial, politik dan budaya tanpa menyentuh aspek spiritual karena gerakan ini
lebih memusatkan diri pada perjuangan secara fisik untuk melawan para penguasa
dan pemimpin politik. Sehingga fokus mereka hanya hanya bersifat jasmani dan
hal-hal mengenai kemanusiaaan saja.
Rumusan teologi mereka bertujuan untuk memutuskan rantai penindasan
dengan melakukan perubahan sosial, dengan memakai kondisi masyarakat sebagai
dasar dari perjuangan mereka untuk menciptakan perubahan dimasa yang akan
datang. Perubahan adalah cita-cita mereka untuk membawa kemerdekaan bagi setiap
individu yang lahir pada generasi berikutnya.
Pada kesempatan ini
penulis membahas tentang perjuangan masyarakat Korea untuk membebaskan diri
dari tekanan para penguasa. Perubahan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu
di Korea menamakan diri sebagai Minjung atau yang dikenal dengan Teologi
Minjung. Kehadiran teologi Minjung merupakan reaksi terhadap penindasan para
penguasa dan orang-orang di luar negara yang memerintah dan memperlakukan
rakyat kelas bawah dengan semena-mena.
2.
TUJUAN PENULISAN
Dari latar belakang
penulisan diatas maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
·
Mengetahui latar
belakang lahirnya Teologi Minjung
·
Mengetahui
definisi Minjung
·
Mengetahui
pemikiran atau teologi dari kaum Minjung
·
Mencari
pandangan Alkitab tentang Teologi Minjung serta Kritisi Teologi Minjung.
3.
RUMUSAN MASALAH
Dari tujuan penulisan
diatas maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah:
·
Apa itu Minjung
·
Sumbangsih
teologi minjung
·
Pandangan para
Teolog terhadap Teologi Minjung
·
Pandangan
Alkitab terhadap Teologi Minjung serta Kristisi terhadap Teologi Minjung
PEMBAHASAN
A.
Definisi dan Lahirnya Minjung
Istilah Minjung diambil
dari dua kata Sino-Korea yaitu “Min”
artinya masyarakat, rakyat dan “Jung”
artinya umum, massa. Dengan demikian Minjung diartikan sebagai masayarakat
secara umum. Minjung adalah sebuah istilah yang digunakan untuk masyarakat
secara universal, dan pertama kali digunakan pada masa Dinasti “Yi” pada tahun 1392-1960 untuk
orang-orang yang tertindas baik secara politik maupun sosial dan beberapa hal
lainnya lagi. Kemudian teologi Minjung dirumuskan dalam konsultasi teologi
pertama yang diorganisasikan oleh Komisi Teologi Dewan Gereja-gereja Nasional
di Korea yang diadakan di Seoul pada tanggal 22-24 Oktober 1979 dengan pokok “The People Of God And The Mission Of The
Chruch” (umat Allah dan misi gereja).[2]
Minjung sebagai interpretasi iman Kristen kepada rakyat jelata dan tertindas
namun dalam interpretasi politis.
Minjung hadir untuk
memberikan pembebasan nasional dari kekuasaan yang mendominasi. Mereka adalah
orang-orang masyarakat kecil yang terabaikan dalam sejarah Korea. Mereka tidak
memiliki hak dan kaum tidak terpandang. Berdasarkan pembatasan yang dilakukan
oleh Kim Yong Bock, Minjung adalah kaum yang tidak berpunya, yaitu para petani,
para nelayan, para pekerja, para penganggur, tentara dan mereka orang yang
menderita oleh tekanan-tekanan politik, eksploitasi ekonomi, penghinaan sosial
dan keterasingan kultural sehingga mereka tidak akan pernah bisa menjadi subjek
sejarah[3] “People as the subject of History”.
Melihat keresahan masyarakat kelas bawah, maka para teolog di daerah Korea
Selatan berjuang untuk menjadikan Minjung sebagai subjek Sejarah. Jadi Teologi Minjung
sebagai sebuah refleksi para teolog Kristen untuk kepentingan masyarakat secara
umum khususnya orang yang tertindas supaya terlepas dari cengkraman kekuasaan
orang-orang berkuasa dan mengharapkan kebebasan tanpa ada orang-orang yang
menekan dan membuat mereka terpuruk dalam penjajahan di negara mereka
sendiri. Sehingga pada akhirnya teologi
Minjung dimaknai dari konsep politik dan diartikan sebagai “mereka yang
diperintah yang didominasi oleh kekuatan yang ada”.[4]
Teologi Minjung
merupakan sebuah refleksi sejumlah pemikir bersama rakyat banyak[5] yang
dilakukan oleh orang-orang Kristen di Korea Selatan untuk melepaskan diri dari
penderitaan-penderitaan. Teologi minjung diperkenalkan oleh Ahn Byeong-mu pada
tahun 1970-an,[6] Yong Bock Kim,[7] In
Syek, Hyun Yong Hak, Suk Nan Dong dan beberapa orang lainnya mendasarkan
pendekatan hermeneutika sosial dan politik. Gagasan para tokoh pencetus tentang
Minjung cenderung melihat orang-orang yang telah ditepikan dan dirampok
subjektivitas mereka dalam sejarah oleh orang-orang luar atau para penindas
internal. Minjung mengacu pada rasa benci terhadap ketidakadilan dan
penderitaan, rasa tidak berdaya dalam menghadapi setiap rintangan dan masalah,
tindakan kekerasan yang merajalela dan perasaan ditingggalkan.
Refleksi perasaan
derita orang Korea ditunjukkan melalui tari
topeng (Talchum) yang digerakkan oleh Profesor Hyun Young Hak sebagai
ungkapan penderitaan yang sedang berlangsung menggerogoti hak mereka. Realisasi
berikutnya terungkap pada cerita-cerita, puisi[8]
dan pada seni pertunjukan. Semua ini digunakan menjadi wadah untuk melampiaskan
dan mengungkapan pernindasan dengan cara mengejek dan mengkritik para penindas.
Biasanya tari topeng bersifat religius namun pada waku-waktu berikutnya
digunakan sebagai media sindiran yang diikuti dengan kata-kata kotor dan
bersifat kasar. Pertunjukkan tarian ini diiringi oleh musik instrumental,
lagu-lagu dan dialog para pemain musik dengan audiensi yang bersifat kritik dan
tidak sopan. Jadi corak kekhasan Minjung adalah menggunakan unsur-unsur
kebudayaan dan sejarah untuk menginterpretasikan iman Kristen.
Penulis akan membahas
dua orang tokoh Minjung sesuai yang tertera diatas, tokoh tersebut adalah
1)
Ahn Byung-Mu
(1902-1996)
Ahn lahir pada tanggal 23 Juni 1902 di Shinanjau provinsi Pyong (pada masa kini di
kenal sebagai Korea Utara), anak seorang dokter penyembuhan tradisional
Asia.[9]
Keluarga Ahn tinggal Korea yang dikuasai Jepang setelah menang perang dari
Rusia pada 1904-1905, kemudian menjadikannya negara bagian dan pada tahun 1910
Jepang menguasai Korea sampai kalah perang dunia kedua. Ahn dibesarkan oleh
ibunya, karena ayahnya hidup bersama dengan seorang gundik. Ayah Ahn seorang
pemabuk sehingga ibunya memilih berpisah dan membawa Ahn.
Ahn sekolah misi di Gereja Canadian Presbyterian di
Yongchang dan membantu ibunya melakukan pekerjaan. Pada tahun 1941-1943 Ahn
pergi ke Jepang dan menyelesaikan pendidikan tinggi di Universitas Taisho.
Kemudian mengambil studi sosiologi di fakultas filsafat dari Universitas
Weseda, namun untuk menghindari menjadi tentara Jepang ia berhenti kuliah. Pada
tahun 1946 Ahn ke Seoul karena pada saat itu terjadi kekerasan dari pihak
Komunis khususnya bagi orang Kristen. Di Seoul ia menjadi seorang guru bahasa
Inggris dan pada saat itu juga kembali kuliah sosiologi dan mempelajari
keaagamaan. Semangatnya belajar agama terbukti di saat Ahn belajar sendiri bahasa
Yunani Kuno dan membaca literatur teologis dan ia sangat kagum kepada Yesus
Kristus melalui tulisan Rudolf Bultman yang dibacanya.
Ahn mendirikan seminari
Chunggang yang dikhususkan untuk
pelayanan kaum awam sebagai demonstrasi dari gereja yang mapan. Disana ia
mengajar sosiologi dan Yunani kuno. Tidak lama kemudian ia pergi ke Heidelberg
ke murid Bultman yang bernama Gunther Bornm (1905-1990) dan belajar tradisi
Kong Hu Cu, agamanya sebelum masuk Kristen. Tahun 1965 mendaptkan gelar doktor
dan menjadi presiden di seminari Chungang, kemudian tahun 1971 mengajar di
Hankuk Theological University Seoul.
Pada tahun 1970 Park Chung-Hee mengambil alih Korea
Selatan setelah kejatuhan Sigman-Rhee. Park mengubah wilayah pertanian menjadi
tempat industri, para pekerja mendapat upah rendah namun jam kerja yang panjang
dan memberangus kelompok independen. Kemudian ia menjadi presiden pada periode
kedua dan mencalonkan diri pada periode ketiga dengan mengajukan konstitusi
Yushin[10] (kepemimpinan Park terus berlanjut) untuk
melawan calon oposisi yaitu Kim Dae-Jung. Pada tahun inilah Ahn terlibat dalam
pekerjaan hak asasi manusia. Park orang yang sanagt kejam pada saat memerintah,
setiap orang yang menentang ditangkap dan dijebloskna kedalam penjara.
Ahn melihat penderitaan orang Korea dan kemudian ia
berbicara mengenai teologi minjung sebagai subjek nyata dari sejarah Korea.
Pengalaman menyakitkan saat terjadi perang sipil berdarah pada 1950-1953
sehingga banyak orang Korea kehilangan anggota keluarganya. Teologi Minjung
hadir sebagai hasil interpretasi dari sejarah dan budaya Korea yang telah
ditindas selama penjajahan Jepang.
Pemikiran Minjung terhadp Kristologi sangat
eksplisit yang digambarkan sebagai okhlos
yakni orang-orang yang berkumpul disekitar Yesus seperti yang digambarkan
injil Markus. Ahn mengatakan bahwa
kategori dari sebuah peristiwa adalah ekspresi dari historistas iman
Kristen dimana kematian dan kebangkitan Kristus menjadi kunci Hermeneutik
kehadiran Yesus dalam peristiwa Minjung dalam pengorbanan diri pekerja tekstill
Chun Tae-ii dan kematian Mahasiswa karena siksaan. Dengan kata lain bahwa
peristiwa tentang Yesus berkonsentrasi pada biografi sosial.
Ahn mengatakan bahwa kehadiran Yesus Kristus dalam
penderitaan kaum Minjung membentuk
identintas dan harkat yang dijanjikan kepada rakyat biasa, hal ini bertentangan
dengan realita yang terjadi pada saat itu. Slogan Ahn bagi kaum Minjung “Yesus tidak mati bagi Minjung tetapi dengan
mereka kematian Yesus adalah kematian seorang rakyat biasa”. Dalam penderitaan para Minjung Kristus yang bangkit itu terus
menjadi nyata.
2)
Yong Bock Kim
(1938)
Yong Bock Kim seorang direktur studi dan penelitian
di Institut pengembangan dan misi di Seoul. Kim melihat teologi asia dalam
kacamata historikal kemudian merefleksikan dalam sebuah konsep rakyat Asia
sebagai buah dari pemikirannya terhadap keadaan Asia orang yang tertindas,
miskin dan memilih Korea Selatan sebagai contoh dari penemuannya tersebut
kemudian menghubungkannya dengan injil sesuai aspirasi rakyat dengan tujuan
membebaskan rakyat. Pemikiran Kim dipengaruhi oleh teologi Barat yang
bercirikan sinkritisme injil yaitu bercampur agama dan budaya. Kemudian muncul
aspirasi nasional untuk membebaskan diri dari penjajahan sehingga teologi ini
akhirnya bercorak politis bukan hanya bercorak religi-kultural. Teologi ini
memfokuskan diri pada dogma khususnya soteriologi
atau penyelamatan dan pembebasan.
B.
Kemeredekaan Orang Korea
Perlawanan telah
dilakukan oleh rakyat biasa untuk melawan setiap pemerintahan dan ekspansi
asing yang berkuasa di negeri mereka sendiri hingga pada akhirnya mereka bebas
dari penindasan secara politik pada tahun 1970. Perlawanan ini dibawah pengaruh
Teologi Minjung sebagai penggerak dari kemerdekaan rakyat. Minjung menjadi
tiang bangsa untuk menjadi benteng dalam mempertahankan negara dari kekuatan
asing dan untuk membela hak rakyat. Tapi disisi lain Minjung dipahami sebagai
konsep politik. Perang sering terjadi dan menjadi cara yang terutama dan harus
dilakukan untuk menyingkirkan kesengsaraan dari hidup mereka. Hyun menyebutkan sejumlah contoh
historis tentang bagaimana Minjung bereaksi terhadap kekuatan yang menindas:[11]
1.
Pemberontakan Manjuk. Gerakan ini dipimpin oleh seorang budak lelaki, ia
mengorganisisr sebuah revolusi dengan membunuh orang-orang yang berkuasa,
membakar buku cacatan pendaftaran budak dan merebut pemerintahan. Namun gerakan
ini tidak berhasil karena ia berhasil ditangkap dan dihukum mati karena
tindakannya yang melawan pemerintahan.
2.
Hwalbin-Dang (Partai Rakyat Miskin). Gerakan ini diorganisir dengan tujuan untuk
merampok golongan kaya, orang yang korup dan kuil-kuil mereka. Hasil dari
perampokkan itu dibagikan pada kaum miskin sebagai upaya untuk menghadirkan
keadilan. Pada kemudian hari, gerakan ini dinamakan “perampok-perampok demi keadilan”.
3.
Revolusi Petani Tonghak. Gerakan ini dipimpin oleh Chun Bongjoon dari golongan para petani dengan tujuan memberontak
kepada bagian pemerintahan atau para pejabat yang melakukan korupsi.
Melalui perjuangan
panjang dengan pengorbanan rakyat akhirnya membuahkan hasil kemerdekaan. Dengan
diterbitkannya deklarasi kemerdekaan Korea pada 15 Augustus 1945 maka Korea
dinyatakan merdeka dan mendapat kebebasan penuh tanpa penindasan. Peristiwa ini
menjadi momentum yang penting dan bersejarah yang penting dalam kehidupan kaum
Minjung. Dengan demikian rakyat memiliki kebebasan dan rakyat Korea sejajar
dengan bangsa-bangsa lain, dimana hak mereka sudah dimiliki. Telah terjadi
titik balik dalam sejarah bangsa Korea, penguasa bukan subjek sejarah lagi
melainkan rakyat yang menjadi subjek sejarah bukan objek sejarah lagi. Mereka
menjadi pelaku utama dan yang terpenting dalam cakrawala sejarah Korea.
Kehadiran Park
Chung-Hee (1961-1978) sebagai pemimpin negara Korea membawa dampak buruk bagi
rakyat, dimana tanah yang digunakan untuk bertani dijadikan lahan industri.
Meskipun pada masa pemerintahan Park terjadi reformasi yang baik untuk membawa
Korea kearah yang lebih baik, kemudian Park disebut sebagai bapak pembangunan,
namun gaya kepemimpinannya membawa kemalangan bagi rakyat Korea terutama mereka
yang bersikap oposisi terhadap atauran yang dibuatnya.
Park hanya
memperbolehkan setiap para petani memiliki tiga hektar tanah. Tapi keadaan
mulai memburuk disaat disahkan UU menganai Land
Reform dimana pemerintah mengambil alih seluruh tanah dan sebagai
imbalannya diberikan saham dari negara. Aturan yang dibuat sangat rumit bagi
para petani sehingga mereka memilih untuk menjual dengan harga yang murah.
Akibatnya hasil pertanian kurang dan perdagangan mereka terhambat/mengalami
kerugian. Modal yang digunakan pemerintah dalam bidang pertanian dialihkan
untuk berdagang, hasilnya mencapai 10% dari modal awal. Perdangangan membawa
keberuntungan, sekitar tahun 1960-an Park Chung Hee mengubah alur kegiatan
impor atau perdagangan menjadi industri. Semua pejabat dan pengusaha dipaksa
mendukung perindustrian.
Pada tahun 1979 terjadi
demonstrasi besar-besaran dimana rakyat menuntut supaya Park Cheng-Hee yang
telah memerintah selama 18 tahun (1961-1979) turun dari kursi kepresidenan
namun pada saat itu juga ditemukan tewas tertembak di Gedung Biru, dimana
pembunuhnya adalah Kim Jae-gyu direktur Korena
Central Intelligence Agency (KCIA).
C.
Teologi Minjung
Terdapat berbagai agama
atau kepercayaan asli yang kuat di Korea, seperti shamanisme (aliran animisme) merupakan sinkritisme dari ajaran
Budha dan ajaran Konghuchu,[12]
Islam dan Kristen. Agama-agama tersebut berusaha untuk melakukan gerakan yang
bisa menolong manusia yang berada dalam penderitaan supaya mengalami pemulihan
dan kehidupan yang layak. Dari Kristen Korea melahirkan sebuah teologi yang
disebut Minjung. Teologi Minjung telah menjadi dasar bagi para teolog Kristen
untuk menyokong orang-orang miskin dan mengalahkan ketidakadilan dalam
kehidupan duniawi. Gerakan ini membuat sebuah bangunan teologi melalui
pendekatan yang berbeda dalam memahami Alkitab. Pendekatan mereka yang berbeda terhadap
Alkitab di pengaruhi oleh keadaan dan situasi yang mereka alami pada saat itu,
sehingga penafsiran mereka cenderung subjektif (kebutuhan penafsir) bukan
obyektif lagi (makna teks yang sesungguhnya).
Secara tradisional
Minjung memakai kerangka kerja filsafat atau ideologi terkait pihak penguasa
sehingga teologinya dibangun dari beberapa sumber yaitu:[13]
a)
Sumber-sumber
alkitabiah ditafsirkan guna menjelaskan bagaimana gerangan Allah berhubungan
dengan Minjung, dalam hal ini In Syek seorang ahli Perjanjian Lama memaparkan
kitab undang-undang Deutronomis untuk mendukung hak-hak orang miskin
berdasarkan latar belakang historis sosial ekonomi orang Korea. Profesor Ahh
Byung Mu menafsirkan Perjanjian Baru dengan beranjak dari kitab Markus dan
menemukan kaitannya dengan keadaan Minjung.
b)
Menafsirkan
ulang sejarah gereja dari perspektif Minjung dengan memandang sejarah gereja
dari sudut pandang rakyat jelata untuk dapat menguak tradisi-tradisi yang “heterodoksikal”[14] dan tidak mapan
yang berpadanan dengan aspirasi-aspirasi rakyat dalam masing-masing era.
c)
Perjuangan
rakyat yang diekspresikan melalui sastra dan artistik sebagai aspirasi
perjuangan.
Dari sumber teologi
Minjung diatas maka mereka mempunyai pemahaman-pemahaman yang khas terkait
dengan doktrinal iman Kristen yaitu:
1.
Konsep Minjung
Tentang Allah dan Alkitab
Allah mendengar tangisan manusia dari tempat-tempat
perjuangan di seluruh dunia yaitu
tangisan orang yang ditolak, orang yang diskriminasi, rasisme, tangisan rakyat
yang berada dibawah kedikatatoran, tangisan orang miskin yang menjadi orang
asing ditanahnya karena dikuasai oleh kapitalisme, tangisan orang-orang yang
dipenjarakan karena ideologi politik seperti komunisme.[15]
Harapan mereka kepada Allah dengan keadaan yang
mendesak membuat Kaum minjung memahami Alkitab sesuai kebutuhan mereka atau
berdasarkan tujuan dari teologi yang mereka bangun. Para kaum Minjung menemukan
keadaan yang sedang mereka alami seperti peristiwa yang dialami bangsa
Israel dari peristiwa kitab Keluaran,
bagaimana kehidupan Israel yang mengalami perbudakan di Mesir, kemudian
dibebaskan oleh Allah dan di tuntunnya sampai ketanah Kanaan. Peristiwa
tersebut ditarik pada kehidupan mereka yang tertindas oleh penguasa dan
dibebaskan oleh Allah. Pandangan ini sama dengan pernyataan Eta Linemmann
mengenai teologi pembebasan yang melihat Allah dalam Alkitab sebagai pembebas,
menghancurkan mitos-mitos dan segala keterasingan dan campur tangan dalam
sejarah untuk mengahancurkan struktur yang tidak adil dengan menunjukkan jalan
kebenaran dan belas kasihan kepada budak-budak dengan meruntuhkan
penguasa-penguasa dan menegakkan orang yang tertindas.[16]
Kaum Minjung melihat kembali pada saat penciptaan
awal manusia sebagai gambar dan rupa Allah yang memiliki hubungan yang khusus
dengan-Nya seperti Adam dan Hawa. Kitab
Keluaran digunakan oleh Cyris Hee-Suk
Monn untuk menjelaskan Israel mengalami pemulihan martabat untuk mencapai
harkat manusia dan hak-hak asasi manusia dalam bimbingan dan perlindungan
Allah.[17]
Allah memulihkan manusia yang tertindas dan yang tidak berdaya untuk dijadikan
sebagai manusia yang bebas dan memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya.
Jadi Teologi Minjung memahami Allah sebagai pembebas dan Alkitab sebagai
pendukung paham teologi mereka dengan cara mencari peristiwa di Alkitab
mengenai pembebasan sesuai dengan kejadian yang mereka alami. Penulis melihat
Alkitab dalam perspektif Minjung sebagai “The
Solution Cover” karena Alkitab hanya digunakan untuk menjawab kebutuhan
mereka bukan sebagai firman Allah. Teologi Minjung seperti sebuah buku yang
covernya adalah Alkitab sedangkan isi buku tersebut adalah kekerasan, kebencian
dan perjuangan untuk memperoleh kebebasan.
2.
Konsep Minjung
Tentang Yesus
Sugirtharajah berkata bahwa Yesus berhubungan dan
hidup bersama dengan Minjung, tidak sesekali-sekali Ia memuliakan dan
menjauhkan diri-Nya melainkan makan dan minum bersama-sama dengan Minjung serta
mengabulkan permintaan mereka.[18]
Dengan kata lain Minjung mendapat perhatian khusus dari Yesus dan tidak ingin
jauh dari mereka karena Yesus turut merasakan apa yang Minjung rasakan. “Dimana ada Yesus, disitu ada Minjung dan
dimana ada Minjung, disitu ada Yesus”.[19] Kehadiran Yesus
ditengah-tengah orang biasa adalah wujud dari keprihatinan dan belas kasihan
dan keberpihakkan Yesus kepada orang biasa daripada orang kaya. Yesus lebih
memilih orang biasa dari pada orang kaya karena orang biasa butuh penghiburan
terhadap kemiskinan dan derita yang mereka alami. Dengan demikian Yesus adalah
pribadi yang bisa mengerti dan memahami serta peduli akan kondisi yang sedang
mereka alami pada saat itu. Pengertian tersebut membawa pada pemahaman dan
fokus pada pribadi Yesus sebagai seorang yang memiliki rasa sosial tinggi dan
kepedulian, bukan lagi sebagai Kristus penyelamat jiwa.
Bagi orang Yahudi, Mesias adalah anak Daud atau seorang
raja dari keturunan Daud, seorang tokoh rajani yang dikaitkan dengan harapan
kemenangan atas penindasan-penindasan kafir untuk menyelamatkan dan memulihkan
Israel dengan menegakkan pemerintahan keadilan dan kebenaran Allah.[20]
Dalam kacamata para teolog Minjung, Yesus dihubungan dengan kerajaan Mesianik
untuk memulihkan orang-orang Korea bangkit dari penderitaan mereka. Pengertian
mereka tentang Yesus sebagai personifikasi Minjung membawa dalam cara hidup
Yesus yang senantiasa berdiri pada pihak yang tertindas, orang berduka, orang
yang lemah dan orang yang sakit. Orang-orang yang memiliki keadaan seperti ini
mendapat perhatian Yesus dan berada disekeliling Yesus untuk menemukan
kedamaian dan ketenangan.
Orang yang diperlakukan terasing secara struktural
dari tatanan masyarakat memperoleh pembelaan dari Yesus meskipun pada akhirnya
Yesus menjadi korban kekerasan secara politik dari para penguasa Roma dan
orang-orang Yahudi karena perhatian dan pembelaan-Nya. Yesus berbelas kasihan
terhadap orang-orang yang diperlakukan semena-mena dan menggibaratkannya
seperti domba yang tidak bergembala (Mrk. 6:34) sehingga mereka diajar Yesus
supaya kuat dengan membangkitkan sukacita pada hati yang berduka dan lemah.
Kaum Minjung melihat hubungan Yesus dengan Minjung
sebagai pembebas dan yang dibebaskan. Hati Yesus yang berpihak pada kaum
tertindas dan orang-orang yang tidak mendapat perhatian dari para pemerintahan.
Perjuangan Yesus berujung pada penangkapannya di Taman Getsemani, dicambuk,
disiksa dan disalibkan hanya untuk membela hak-hak orang yang tidak mendapat
perlakuan yang semsetinya di mata para pemimpin politis. Penderitaan Yesus
dikaitkan dengan penderitaan yang dialami langsung pada masa pendudukan Jepang.
Salib Kristus sebagai lambang dari penderitaan-penderitaan dan salib-salib
mereka sendiri. Penderitaan yang dialami oleh orang-orang Kristen yang politis
bukan menderita untuk diri mereka sendiri melainkan bagi seluruh rakyat Korea,
sama seperti Yesus yang menderita di kayu salib untuk menebus seluruh umat manusia.
Jadi, Kaum Minjung memahami Yesus
sebagai pembebas dan sebagai orang yang menaruh perhatian secara khusus
terhadap pernindasan.
3.
Konsep Minjung
Tentang Dosa
Melihat motif lahirnya teologi Minjung, maka arahnya
pada pembebasan “soteriologi”
sedangkan pembicaraan tentang dosa tidak lagi disingung karena mereka memahami
dosa sebagai pemberontakan rohani terhadap Allah, seperti tidak berdoa atau
tidak membaca Alkitab. Dosa tidak mempunyai makna “radikal” sebagai suatu
pemberontakan terhadap Allah seperti dalam Mazmur 106:6, melainkan suatu status
manusia dalam masyarakat dalam hubungan mereka dengan kelas penguasa.[21]
Jadi, bagi Minjnung dosa adalah akibat dari kesalahan para penguasa dan orang
miskin tidak pernah dituduh berdosa karena mereka korban dari dosa. Penguasa
berdosa karena memperlakukan rakyat dengan tidak baik, sedangkan rakyat menjadi
korban dari dosa penguasa karena menjadi korban penindasan.
Soteriologi
disini adalah tujuan akhir dari rumusan teologi minjung untuk meraih kebebasan
secara politik dan sosial dari orang-orang berkuasa. Kebebasan dari dosa dalam
artian spiritual menjadi persoalan lain yang beda dari kebebasan seperti yang diajarkan Yesus untuk
melepaskan manusia dari belenggu dosa.
Jadi, semua ajaran
teologi Minjung tentang Allah, Kristsus, dosa dan iman tidak selaras dengan
Alkitab, sekalipun menggunakan teks-teks Alkitab dan istilah yang Alkitabiah
namun sesungguhnya konsep tersebut telah dikontrol oleh pikiran yang tidak
dikehendaki Tuhan karena bernuansa politik dan kekerasan secara fisik. Mereka
mencari ayat-ayat Alkitab yang secara eksplisit maupun inplisit mendukung
doktrinnya supaya melegalkan pemahaman mereka yang kelihatan murni tapi
politis. Semua teologi yang dibangun berdasarkan Alkitab hanya manipulasi untuk
meraih cita-cita pembebasan sosial-politis karena Alkitab hanya diperalat untuk
kepentingan politik.
D.
Tanggapan
Terhadap Teologi Minjung
1.
Konservatif
Teologi Minjung
Lee Oo Chung mengamati pemahaman rakyat Korea
terhadap Mesias hanya dipahami dalam gambaran manusia yang hidup dalam sejarah
dan yang mengasihi orang-orang lain sesamanya lebih dari diri-Nya sendiri dan
demi kasih-Nya yang agung, mengalami penderitaan dan berkurban untuk menjadi
sang Penyelamat umat manusia, sedangkan pengakuan orang Korea terhadap Yesus
adalah Allah tidak menjadi inti dari Kristologi Minjung, maka Yesus adalah
Mesias tidak terlalu menggetarkan perasaan.[22]
Pengertian mereka terhadap Yesus hanya sebatas Mesias sebagai penyelamat mereka
dari penindasan sedangkan sosok Yesus yang sama itu tidak menyentuh aspek
spritualitas. Bagi penulis sendiri menganggap bahwa orang Korea bebas dari
penjajahan secara fisik sedangkan jiwa mereka tetap diperbudak dan terbelunggu
oleh dosa karena mereka memberikan diri diperbudak oleh keinginan jahat sebab
kekerasanlah yang membuat mereka bebas bukan dasar kasih.
Yewangoe mengatakan bahwa para teolog harus bisa
mengakui keterbatasan dalam menyuarakan perasaan-perasaan rakyat secara
sempurna, sebab yang dikatakan oleh para teolog tidak selalu dari situasi
rakyat yang sesungguhnya[23]
melainkan isi hati para teolog untuk melawan kekejaman para penguasa. Akibatnya
pembebasan yang dilakukan bukan untuk memulihkan manusia sebagai citra Allah
melainkan pemberontakan.
2.
Kajian Biblika
Kaum Minjung membangun sebuah teologi melalui sistem
hermeneutika kritik sosial atau penafsiran situasional dengan memaksakan
Alkitab untuk menjawab kondisi manusia. Alkitab dipaksa untuk mendukung konsep
mereka dengan titik berangkat dari isu-isu sosial, yaitu ketidakadilan,
kemiskinan dan diskriminasi. Konsep yang
dipakai oleh para teolog minjung dalam membentuk teologinya sangat menekan
teks, dimana mereka mengejar konteks dan meninggalkan teks Alkitab. Mereka
berteologi dengan bertolak dari konteks bukan dari teks Alkitab, karena teks
hanya digunakan untuk meneguhkan pemikiran mereka yang sudah dirumuskan
berdasarkan kondisi konteks sosial mereka.[24]
Dengan demikian konsep Minjung merupakan sebuah teologi yang menggunakan
Alkitab sebagai pemoles dari kebutuhan sosial, Alkitab tidak dipakai sebagai
mana mestinya yaitu Alkitab menerangkan dirinya sendiri sedangkan aplikasinya
bagi penafsir adalah hasil dari tafsiran terhadap teks bukan dasar pemikiran
yang terlebih dahulu kemudian Alkitab digunakan sebagai pendukung.
Teologi Minjung menempatkan pengalaman manusia
sebagai titik tolak refleksi atas pengalaman penderitaan rakyat Korea daripada
melihat Alkitab berbicara apa tentang kondisi Korea. Berkaitan dengan titik
berangkat tersebut, maka tugas teologi Minjung lebih pada penafsiran situasi
dan konteks Korea daripada Alkitab.
Sikap Minjung terhadap Alkitab tidak objektif karena
Alkitab tidak dilihat seperti apa teks berbicara, melainkan apa yang dibutuhkan
penafsir pada saat itu. Pemahaman Minjung terhadap Alkitab hanya sebagai buku
bacaan dan bukan dasar yang utama melainkan peneguh pergumulan sosial dan beban
hati supaya terlihat lebih Alkitabiah dan memiliki ciri kekristenan. Pendekatan
Minjung merendahkan otoritas Alkitab dengan membatasi kuasa Tuhan untuk
menyelesaikan permasalahan manusia. Kehadiran teologi tersebut sangat mendarat
dihati orang Kristen yang telah mengharapakan hal tersebut, tapi sesungguhnya
teologi Minjung menjadi Serigala berbulu
domba yang tampak Alkitabiah namun buas karena pikiran dan perjuangannya
memiliki muatan politis dan menghasilkan revolusi beradarah karena mengandalkan
fisik untuk melakukan perlawanan. Revolusi ini membawa orang-orang Kristen
menghilangkan konsep Kasih dengan mengatasnamakan pembebasan.
Ungkapan “Dimana ada Yesus, disitu ada Minjung dan
dimana ada Minjung, disitu ada Yesus” seolah-olah menerangkan bahwa Yesus hanya
milik orang Korea yang tertindas bukan Yesus bagi seluruh orang Korea atau
seluruh dunia. Dan apabila kita lihat dalam Alkitab, Yesus tidak hanya
memepdulikan orang tertindas melainkan Ia juga peduli terhadap orang kaya atau
orang yang memeras orang miskin seperti Zakheus pemungut cukai. Bahkan Zakheus mengaku bahwa ia akan mengembalikan
empat kali lipat kepada orang-orang yang dia peras karena pada zaman
pemerintahan Romawi para pemungut cukai tidak hanya menarik pajak bagi Kaisar,
disisi lain pemungut cukai memperkaya diri.
3.
Kontribusi
Teologi Minjung
a)
Sisi positif Teologi Minjung
Dari bangunan teologi dan tujuan dari Minjung maka
teologi ini sangat kontekstualisasi karena memberi contoh bagaimana seharusnya
sebuah teologi dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia terutama dimana ia
berada. Titik berangkat Minjung dari konteks Korea memberikan hasil natural dan
praktis untuk mencapai hak-hak mereka sebagai citra Allah yang mulia. Dengan
demikian, Minjung dapat menyeimbangkan dimensi spritual dan dimensi sosial
sebagai aplikasi dari pemahaman Alkitab.
Hermeneutik yang digunakan oleh Minjung patut untuk
diberikan apresiasi, dimana mereka menunjukkan suatu pendekatan Alkitab yang
sangat mendarat dengan kehidupan manusia. mereka menjawab kebutuhan orang-orang
Korea pada saat itu dengan memberikan solusi yang “Alkitabiah” sebagai seorang
teolog Kristen. Minjung memberikan perhatian khusus kepada setiap orang (humanisme) terutama bagi mereka yang
harus dibela haknya.
Teologi Minjung mampu memberikan teladan dalam
menghadirkan sebuah teologi yang kontekstual dengan ciri gereja lokal atau
wilayah, daerah atau negara. Selain itu, teologi ini memiliki keunikan dan ciri
khas teologi yang dianggap ideal pada setiap daerah dan ini membuat setiap
orang percaya mengerti bahwa Alkitab sanggup menjawab setiap
persoalan-persoalan yang terjadi dalam kehidupan sosial. Dengan hadirnya
teologi Minjung diharapkan mata para teolog terbuka bahwa mereka jangan sibuk
dengan teologi atau khotbah dan persoalan-persoalan teologi melainkan Firman
Allah harus mempunyai aplikasi yang mendarat secara langsung pada kehidupan
nyata.
b)
Sisi negatif Teologi Minjung
Di satu sisi teologi Minjung memberikan hal positif
karena memiliki kontribusi untuk menjawab setiap persoalan kaum Minjung (kontekstualisasi), namun disisi lain
penulis menemukan kelemahan dari teologi ini. Adapun kelemahan atau sisi
negatif dari Teologi Minjung adalah:
Pertama, teologi ini tidak berbicara lagi tentang dosa
melainkan anugerah-anugerah Allah
melalui kebebasan yang di kerjakan pada kehidupan masyarakat Korea. Jika
tidak berbicara lagi tentang dosa dan hanya anugerah maka manusia sedang dalam
kesesatan sebab mereka tidak tahu bahwa anugerah itu diterima manusia berdosa
setelah ditebus Yesus di kayu salib. Dosa mempengaruhi tujuan hidup manusia,
mempengaruhi kehendak, mempengaruhi tubuh dan mempengaruhi orang lain supaya
berbuat seperti yang dilakukannya. Jadi para teolog Minjung harus menyadari
bahwa dosa harus menjadi pokok pembicaraan dalam diskusi mereka karena semua
yang terjadi pada rakyat Korea akibat dosa dan tanpa kesadaran sebagai manusia
berdosa serta pengenalan pada Kristus Yesus manusia di daerah Korea tetap dalam
belenggu perbudakan dalam aspek rohani meskipun bebas secara politis. Kebebasan
mereka didasari pada kebencian dan itu dosa bukan karena kasih.
Kedua, kaum Minjung memandang diri mereka sebagai korban
dosa dari para penguasa sedangkan mereka tidak dituduh sebagai orang berdosa.
Alkitab berkata bahwa “semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan
kemuliaan Allah” (Roma 2:23 TB) dan
setiap orang menangung dosanya sendiri tanpa menanggung dosa orang lain.
Pemahaman Minjung tentang akibat dosa salah
karena Alkitab berkata bahwa upah
dosa adalah maut (bnd. Roma 6:23) dan ini bersifat pribadi. Dosa membawa pada
kematian rohani dan terpisahnya hubungan yang murni antara Allah dan manusia.
Dengan demikian cara yang paling tepat adalah memperbaiki hubungan dengan Allah
karena tanpa pemulihan identintas manusia sebagai orang yang diselamatkan
tindakan manusia selalu membuahkan dosa meskipun itu terlihat benar (corak Minjung adalah kejahatan melawan kejahatan).
Ketiga, mereka memusatkan perhatian saat ini pada zaman
mereka berada bukan pada masa yang akan datang atau pada unsur kekekalan, lebih
fokus pada manusia (humanism) yang
bergerak untuk membebaskan diri sendiri, bukan tentang Allah sebagai pembebas
manusia. Teologi yang keluar batas, sebab fondasi mereka bukan berdasarkan
Alkitab, Allah dan Yesus melainkan kemanusiaan dan pembebasan.
Keempat, manusia sebagai subjek Alkitab karena teologi ini menggunakan Alkitab sebagai
pendukung teori mereka sedangkan teori atau kondisi menjadi acuan pertama dalam
membangun teologi mereka. Penulis mengumpamankannya sebagai alat transportasi
yang mengantar para penumpang menuju tempat tujuan, kemudian pergi sedangkan
penumpang tidak lagi menggunakan transportasi tersebut karena sudah tiba pada
tempat yang hendak di tuju. Alkitab menjadi kendaraan Minjung memperoleh
kebebasan. Alkitab penting karena mereka orang Kristen tapi mereka tidak
memiliki “kasih” sebagai inti dari
kekristenan.
Kelima, teologi Minjung lahir dari hasil pengalaman
penderitaan dan penindasan bukan hasil dari intepretasi Alkitab sebagaimana
hermeutika yang benar. Mereka memaksakan teks untuk menjawab konteks (kondisi
dan kebutuhan orang Korea). Petrus berkata bahwa kitab suci tidak boleh
ditafsirkan menurut kehendak sendiri (2 Ptr. 1:21) sebab Alkitab Firman Allah
sehingga disaat orang memakai nats Alkitab untuk kepentingan individu maka ia
sedang melawan otoritas Firman Allah dan melawan kehendak Allah.
Kelima, konsep
Minjung mengenai Yesus tidak serta merta diartikan sebagai tokoh yang
memperhatikan orang tertindas dan menderita, melainkan citra Yesus yang menyelamatkan
semua orang berdosa ditiadakan. Yesus harus dipahami sebagai tokoh yang
membangun spiritual manusia supaya mengenal Allah.
KESIMPULAN
Teologi Minjung hasil dari pergumulan
orang-orang Korea yang mengalami penderitaan dan penindasan para pemimpin yang
berkuasa ditanah Korea. Ahn Byeong-Mu, Hyun Yong Hak, Suk Nan Dong dan beberapa
orang lainnya mencetuskan teologi Minjung dengan pendekatan sosial dan politik,
sehingga hermeneutika yang digunakan difokuskan pada masalah hak manusia.
Kekerasan dan kehilangan hak ditanah sendiri membuat rakyat kelas bawah (kaum
Minjung) berusaha menjadi subjek sejarah menggantikan para penguasa.
Pengalamaman, perlawanan, cerita hidup dan teologi Minjung terlihat melalui
tari topeng, puisi, lagu-lagu dan seni yang mengungkapkan penderitaan yang
sedang mereka alami, tapi ekspresi ini bernuansa ejekan dan balas dendam. Usaha
Kaum Minjung untuk membebaskan diri dari penindasan menyebabkan banyak dari
mereka kehilangan nyawa, namun pengorbanan serta kerja keras mereka membuahkan
hasil, dimana kaum Minjung meraih kemerdekaan dengan demikian mereka memiliki
persamaan kedudukan dan hak-hak yang selayaknya.
Teologi Minjung sangat kontekstualisasi
dan memberikan dampak nyata yang bisa dinikmati oleh orang Korea, selain itu Minjung memberikan teladan teologi
aplikatif pada setiap teolog supaya teologi yang mereka pelajari dapat diaplikasikan
pada kehidupan masyarakat dimana mereka berdomisi. Namun pada sisi lain
interpretasi mereka terhadap Alkitab tidak bisa dicontoh karena motivasi mereka
serta merta hanya untuk menjawab persoalan sosial tanpa memperhatikan kebutuhan
spritual manusia.
Teologi Minjung mendasarkan pemahaman
teologi mereka berdasarkan kondisi atau situasi yang terjadi pada saat itu.
Firman Tuhan yang dikutip terlihat alkitabiah namun sesungguhnya hanya sebagai
pendukung setiap gagasan dan ide mereka, dengan cara mencari ayat Alkitab yang
cocok dengan kebutuhan dan kondisi sosial. Hermeneutika yang digunakan Minjung
membuat mereka salah dalam menafsirkan Alkitab sehingga terjadinya kesesatan
teologi hanya untuk memenuhi kebutuhan sosiologis dan politis. Kemerdekaan yang
mereka peroleh hasil dari kekerasan bukan karena kasih sehingga menghilangkan
ciri utama kekristenan yang lebih mengutamakan kasih. Jadi, semua ajaran
teologi Minjung tentang Allah, Kristsus, dosa dan iman tidak selaras dengan
Alkitab, sekalipun menggunakan teks-teks Alkitab dan istilah yang Alkitabiah pada
teologinya namun sesungguhnya konsep tersebut telah dikontrol oleh pikiran yang
tidak dikehendaki Tuhan karena bernuansa politik dan kekerasan secara fisik.
DAFTAR PUSTAKA
M. Husein A. Wahab, Jurnal Substantia, (Fakultas Ushuludin
UIN Ar-Raniry Kopelma Darusalam Kota Banda Aceh: VOL. 15, No. 2, Oktober 2013).
Kuster, Volker. 2017. Wajah-wajah Yesus Kristus: Kristologi Lintas
Budaya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia).
Mawene, Marthinus Th. 2004. Teologi Kemerdekaan, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia)
Lobo, Yanuarius & dkk. 1992. Yesus Kristus Harapan Kita: Sebuah Bunga
Rampai, (NTT: Nusa Indah)
Putra, Eka Darma. 1988. Konteks Berteologi di Indonesia,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia)
Sukanto, Journal: Kristologi Dalam Bingkai Asia.
Culver, Jonathan E. 2014. Sejarah Gereja Asia, (Bandung: Biji
Sesawi)
Elwood, Douglas
J. 2006. Teologi Kristen Asia, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia)
Lumintang, Steveri I. 2004. Theologia Abu-Abu, (Malang: Gandum Mas)
Yewangeo, A.A.
2004. Theologia Crucis Di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia)
Eckardt, Roy.
2006. Menggali Ulang Yesus Sejarah, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia)
Sugirtharajah, Rasiah S. 1994. Wajah Yesus di Asia, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia)
Lumintang,
Steveri I. 2004. Theologia Abu-Abu, (Malang:
Gandum Mas).
Jonge,
Christian De. 2006. Menuju Keesaan Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia)
[1]
M. Husein A. Wahab, Jurnal Substantia, (Fakultas
Ushuludin UIN Ar-Raniry Kopelma Darusalam Kota Banda Aceh: VOL. 15, No. 2,
Oktober 2013). H. 219
[2]
Christian De Jonge, Menuju Keesaan
Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006). H. 176
[3]
Eka Darma Putra, Konteks Berteologi di Indonesia,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988). H 293
[4]
Sukanto, Journal: Kristologi Dalam
Bingkai Asia. H. 6
[5]
Yanuarius Lobo & dkk, Yesus Kristus
Harapan Kita: Sebuah Bunga Rampai, (NTT: Nusa Indah, 1992). H. 276
[7]
M. Darojat Ariyanto, Teologi Kristen Asia
Modren di Asia, (Fakultas Agama Islam Universitas Muhamidayah Surarkarta:
SUHUF, Vol 23, No.1, Mei 2011). H. 72
[8]
Karya sastra Kim Chi Ha menuliskan kata-kata inspirasi Han dari Minjung sebagai salah satu momen paling penting dari
biografi sosial Minjung.
[9]
Volker Kuster, Wajah-wajah Yesus Kristus:
Kristologi Lintas Budaya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017. )H. 206
[10]
Yushin Constution adalah kebijakan
yang di buat Park:. Isi Yushin tersebut adalah Park berhak memilih sepertiga
dari anggtoa majelis Nasional dengan tujuan supaya tidak ada orang yang bisa
menghentikannya sebab kemiliteran sudah ada ditangannya. Media diarahkannya
memberikan informasi sesuai keinginannya, apabila tidak diikuti Park akan
menangkap mereka. Politikus dan dan akademisi akan ditangkap jika bersikap
oposisi terhadap aturan yang telah ditetapkannya.
[11]
Dr. A.A. Yewangeo, Theologia Crucis Di
Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004). H 133
[12]
Dr. Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja
Asia, (Bandung, Biji Sesawi, 2014). H 228-229
[13]
Douglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2006). H 356-357
[14]
Heterodoksikal
artinya menyimpang dari kepercayaan resmi. Dikutip dari https://www.kamusbesar.com/heterodoks
pada tanggal 9 Oktober 2019, pkl 15.10
[15]
Pdt. Dr. Steveri I. Lumintang, Theologia
Abu-Abu, (Malang: Gandum Mas, 2004). H 397
[16]
Prof. Dr. Eta Linnemann, Teologi
Kontemporer: Ilmu atau Praduga?, (Jawa Timur: Persekutuan Pelayanan Injili
Indonesia, 2006). H. 181
[17]
Dr. A.A. Yewangeo, Theologia Crucis Di
Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004). H. 169
[18]R.S.
Sugiharajah, Wajah Yesus Asia,(Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2011). H 261
[19]Ibid. 261
[20]
A. Roy Eckardt, Menggali Ulang Yesus
Sejarah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006). H. 30
[21]
Dr. A.A, Theologia Crucis di Asia, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2004). H. 357
[22]
Rasiah S. Sugirtharajah, Wajah Yesus di
Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994). H. 368-369
[23]
A,A, Yewangeo, Theologi Crucis di Asia. 331
[24]
Pdt. Dr. Steveri I. Lumintang, Theologia
Abu-Abu, (Malang: Gandum Mas, 2004). H. 403
Belum ada Komentar untuk "“The Minjung Thelogy” JALAN MENUJU KEMERDEKAAN KOREA"
Posting Komentar