TRENDING

“The Minjung Thelogy” JALAN MENUJU KEMERDEKAAN KOREA



PENDAHULUAN

1.     LATAR  BELAKANG

Penindasan dan kekerasan sering terjadi dalam setiap wilayah, dimana kaum penguasa dan orang kaya menindas yang miskin atau masyarakat biasa. Hal tersebut menimbulkan ketidaksamaan derajat dalam lingkungan masyarakat yang bertolak belakang dengan hak asasi manusia. Kemudian muncullah berbagai gerakan yang memusatkan perhatiannya pada perjuangan persamaan kedudukan dalam setiap kursi kehidupan, baik dalam bermasayarakat maupun di dalam dunia politik, seperti: Teologi Hitam, Teologi Pembebasan, Teologi Feminis, Teologi Minjung dan Teologi Rakyat. Gerakan ini berdedikasi bagi pembebasan manusia yang tidak mendapat tempat sebagaimana hak manusia semestinya. Keadaan yang bertolak belakang dari harapan membuat para teolog menaruh perhatian pada masalah sosial dengan cara menyeimbangkan kesamaan harkat dan martabat manusia secara spritual dan sosial. Gerakan ini sudah dimulai dari Amerika Latin dan Afrika sebagai akar dari lahirnya teologi tersebut, kemudian ke Asia dan negara-negara lainnya. Gerakan ini sering disebut sebagai Teologi Dunia Ketiga (Third World Teologian).

Teologi dunia memusatkan perhatian pada masalah sosial atau yang sering disebut sebagai Teologi pembebasan. Teologi ini mengalami perkembangan dengan membentuk sebuah cara berteologi baru dengan ciri pokok, yaitu:[1]

a.      Teologi pembebasan telah memberi interpretasi kepada masyarakat dunia ketiga bahwa berteologi secara bermutu harus didasarkan pada kehendak Tuhan yang dilandasakan pada analisis sosial ekonomi, politik dan budaya.

b.     Teologi pembebasan menunutut masyarakat berupa komitmen dan keterlibatan pelaku/penganut teologi secara menyeluruh di dalam memperjuangkan kemerdekaan dan kehidupan masyarakat Dunia Ketiga (The Third Werledness).

Teologi yang telah dirumuskan diatas  berpijak pada masalah sosial, politik dan budaya tanpa menyentuh aspek spiritual karena gerakan ini lebih memusatkan diri pada perjuangan secara fisik untuk melawan para penguasa dan pemimpin politik. Sehingga fokus mereka hanya hanya bersifat jasmani dan hal-hal mengenai kemanusiaaan saja.  Rumusan teologi mereka bertujuan untuk memutuskan rantai penindasan dengan melakukan perubahan sosial, dengan memakai kondisi masyarakat sebagai dasar dari perjuangan mereka untuk menciptakan perubahan dimasa yang akan datang. Perubahan adalah cita-cita mereka untuk membawa kemerdekaan bagi setiap individu yang lahir pada generasi berikutnya.

Pada kesempatan ini penulis membahas tentang perjuangan masyarakat Korea untuk membebaskan diri dari tekanan para penguasa. Perubahan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu di Korea menamakan diri sebagai Minjung atau yang dikenal dengan Teologi Minjung. Kehadiran teologi Minjung merupakan reaksi terhadap penindasan para penguasa dan orang-orang di luar negara yang memerintah dan memperlakukan rakyat kelas bawah dengan semena-mena.

 

2.     TUJUAN PENULISAN

Dari latar belakang penulisan diatas maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

·       Mengetahui latar belakang lahirnya Teologi Minjung

·       Mengetahui definisi Minjung

·       Mengetahui pemikiran atau teologi dari kaum Minjung

·       Mencari pandangan Alkitab tentang Teologi Minjung serta Kritisi Teologi Minjung.

 

3.     RUMUSAN MASALAH

Dari tujuan penulisan diatas maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah:

·       Apa itu Minjung

·       Sumbangsih teologi minjung

·       Pandangan para Teolog terhadap Teologi Minjung

·       Pandangan Alkitab terhadap Teologi Minjung serta Kristisi terhadap Teologi Minjung

 


PEMBAHASAN

 

A.    Definisi dan Lahirnya Minjung

Istilah Minjung diambil dari dua kata Sino-Korea yaitu “Min” artinya masyarakat, rakyat dan “Jung” artinya umum, massa. Dengan demikian Minjung diartikan sebagai masayarakat secara umum. Minjung adalah sebuah istilah yang digunakan untuk masyarakat secara universal, dan pertama kali digunakan pada masa Dinasti “Yi” pada tahun 1392-1960 untuk orang-orang yang tertindas baik secara politik maupun sosial dan beberapa hal lainnya lagi. Kemudian teologi Minjung dirumuskan dalam konsultasi teologi pertama yang diorganisasikan oleh Komisi Teologi Dewan Gereja-gereja Nasional di Korea yang diadakan di Seoul pada tanggal 22-24 Oktober 1979 dengan pokok “The People Of God And The Mission Of The Chruch” (umat Allah dan misi gereja).[2] Minjung sebagai interpretasi iman Kristen kepada rakyat jelata dan tertindas namun dalam interpretasi politis.

Minjung hadir untuk memberikan pembebasan nasional dari kekuasaan yang mendominasi. Mereka adalah orang-orang masyarakat kecil yang terabaikan dalam sejarah Korea. Mereka tidak memiliki hak dan kaum tidak terpandang. Berdasarkan pembatasan yang dilakukan oleh Kim Yong Bock, Minjung adalah kaum yang tidak berpunya, yaitu para petani, para nelayan, para pekerja, para penganggur, tentara dan mereka orang yang menderita oleh tekanan-tekanan politik, eksploitasi ekonomi, penghinaan sosial dan keterasingan kultural sehingga mereka tidak akan pernah bisa menjadi subjek sejarah[3] “People as the subject of History”. Melihat keresahan masyarakat kelas bawah, maka para teolog di daerah Korea Selatan berjuang untuk menjadikan Minjung sebagai subjek Sejarah. Jadi Teologi Minjung sebagai sebuah refleksi para teolog Kristen untuk kepentingan masyarakat secara umum khususnya orang yang tertindas supaya terlepas dari cengkraman kekuasaan orang-orang berkuasa dan mengharapkan kebebasan tanpa ada orang-orang yang menekan dan membuat mereka terpuruk dalam penjajahan di negara mereka sendiri.  Sehingga pada akhirnya teologi Minjung dimaknai dari konsep politik dan diartikan sebagai “mereka yang diperintah yang didominasi oleh kekuatan yang ada”.[4]

Teologi Minjung merupakan sebuah refleksi sejumlah pemikir bersama rakyat banyak[5] yang dilakukan oleh orang-orang Kristen di Korea Selatan untuk melepaskan diri dari penderitaan-penderitaan. Teologi minjung diperkenalkan oleh Ahn Byeong-mu pada tahun 1970-an,[6] Yong Bock Kim,[7] In Syek, Hyun Yong Hak, Suk Nan Dong dan beberapa orang lainnya mendasarkan pendekatan hermeneutika sosial dan politik. Gagasan para tokoh pencetus tentang Minjung cenderung melihat orang-orang yang telah ditepikan dan dirampok subjektivitas mereka dalam sejarah oleh orang-orang luar atau para penindas internal. Minjung mengacu pada rasa benci terhadap ketidakadilan dan penderitaan, rasa tidak berdaya dalam menghadapi setiap rintangan dan masalah, tindakan kekerasan yang merajalela dan perasaan ditingggalkan.

Refleksi perasaan derita orang Korea ditunjukkan melalui tari topeng (Talchum) yang digerakkan oleh Profesor Hyun Young Hak sebagai ungkapan penderitaan yang sedang berlangsung menggerogoti hak mereka. Realisasi berikutnya terungkap pada cerita-cerita, puisi[8] dan pada seni pertunjukan. Semua ini digunakan menjadi wadah untuk melampiaskan dan mengungkapan pernindasan dengan cara mengejek dan mengkritik para penindas. Biasanya tari topeng bersifat religius namun pada waku-waktu berikutnya digunakan sebagai media sindiran yang diikuti dengan kata-kata kotor dan bersifat kasar. Pertunjukkan tarian ini diiringi oleh musik instrumental, lagu-lagu dan dialog para pemain musik dengan audiensi yang bersifat kritik dan tidak sopan. Jadi corak kekhasan Minjung adalah menggunakan unsur-unsur kebudayaan dan sejarah untuk menginterpretasikan iman Kristen.

Penulis akan membahas dua orang tokoh Minjung sesuai yang tertera diatas, tokoh tersebut adalah

1)     Ahn Byung-Mu (1902-1996)

Ahn lahir pada tanggal 23 Juni 1902 di Shinanjau provinsi Pyong (pada masa kini di kenal sebagai Korea Utara), anak seorang dokter penyembuhan tradisional Asia.[9] Keluarga Ahn tinggal Korea yang dikuasai Jepang setelah menang perang dari Rusia pada 1904-1905, kemudian menjadikannya negara bagian dan pada tahun 1910 Jepang menguasai Korea sampai kalah perang dunia kedua. Ahn dibesarkan oleh ibunya, karena ayahnya hidup bersama dengan seorang gundik. Ayah Ahn seorang pemabuk sehingga ibunya memilih berpisah dan membawa Ahn.

Ahn sekolah misi di Gereja Canadian Presbyterian di Yongchang dan membantu ibunya melakukan pekerjaan. Pada tahun 1941-1943 Ahn pergi ke Jepang dan menyelesaikan pendidikan tinggi di Universitas Taisho. Kemudian mengambil studi sosiologi di fakultas filsafat dari Universitas Weseda, namun untuk menghindari menjadi tentara Jepang ia berhenti kuliah. Pada tahun 1946 Ahn ke Seoul karena pada saat itu terjadi kekerasan dari pihak Komunis khususnya bagi orang Kristen. Di Seoul ia menjadi seorang guru bahasa Inggris dan pada saat itu juga kembali kuliah sosiologi dan mempelajari keaagamaan. Semangatnya belajar agama terbukti di saat Ahn belajar sendiri bahasa Yunani Kuno dan membaca literatur teologis dan ia sangat kagum kepada Yesus Kristus melalui tulisan Rudolf Bultman yang dibacanya.

Ahn mendirikan seminari Chunggang  yang dikhususkan untuk pelayanan kaum awam sebagai demonstrasi dari gereja yang mapan. Disana ia mengajar sosiologi dan Yunani kuno. Tidak lama kemudian ia pergi ke Heidelberg ke murid Bultman yang bernama Gunther Bornm (1905-1990) dan belajar tradisi Kong Hu Cu, agamanya sebelum masuk Kristen. Tahun 1965 mendaptkan gelar doktor dan menjadi presiden di seminari Chungang, kemudian tahun 1971 mengajar di Hankuk Theological University Seoul.

Pada tahun 1970 Park Chung-Hee mengambil alih Korea Selatan setelah kejatuhan Sigman-Rhee. Park mengubah wilayah pertanian menjadi tempat industri, para pekerja mendapat upah rendah namun jam kerja yang panjang dan memberangus kelompok independen. Kemudian ia menjadi presiden pada periode kedua dan mencalonkan diri pada periode ketiga dengan mengajukan konstitusi Yushin[10] (kepemimpinan Park terus berlanjut) untuk melawan calon oposisi yaitu Kim Dae-Jung. Pada tahun inilah Ahn terlibat dalam pekerjaan hak asasi manusia. Park orang yang sanagt kejam pada saat memerintah, setiap orang yang menentang ditangkap dan dijebloskna kedalam penjara.

Ahn melihat penderitaan orang Korea dan kemudian ia berbicara mengenai teologi minjung sebagai subjek nyata dari sejarah Korea. Pengalaman menyakitkan saat terjadi perang sipil berdarah pada 1950-1953 sehingga banyak orang Korea kehilangan anggota keluarganya. Teologi Minjung hadir sebagai hasil interpretasi dari sejarah dan budaya Korea yang telah ditindas selama penjajahan Jepang.

Pemikiran Minjung terhadp Kristologi sangat eksplisit yang digambarkan sebagai okhlos yakni orang-orang yang berkumpul disekitar Yesus seperti yang digambarkan injil Markus. Ahn mengatakan bahwa  kategori dari sebuah peristiwa adalah ekspresi dari historistas iman Kristen dimana kematian dan kebangkitan Kristus menjadi kunci Hermeneutik kehadiran Yesus dalam peristiwa Minjung dalam pengorbanan diri pekerja tekstill Chun Tae-ii dan kematian Mahasiswa karena siksaan. Dengan kata lain bahwa peristiwa tentang Yesus berkonsentrasi pada biografi sosial.

Ahn mengatakan bahwa kehadiran Yesus Kristus dalam penderitaan kaum Minjung  membentuk identintas dan harkat yang dijanjikan kepada rakyat biasa, hal ini bertentangan dengan realita yang terjadi pada saat itu. Slogan Ahn bagi kaum Minjung “Yesus tidak mati bagi Minjung tetapi dengan mereka kematian Yesus adalah kematian seorang rakyat biasa”. Dalam penderitaan  para Minjung Kristus yang bangkit itu terus menjadi nyata.

 

2)     Yong Bock Kim (1938)

Yong Bock Kim seorang direktur studi dan penelitian di Institut pengembangan dan misi di Seoul. Kim melihat teologi asia dalam kacamata historikal kemudian merefleksikan dalam sebuah konsep rakyat Asia sebagai buah dari pemikirannya terhadap keadaan Asia orang yang tertindas, miskin dan memilih Korea Selatan sebagai contoh dari penemuannya tersebut kemudian menghubungkannya dengan injil sesuai aspirasi rakyat dengan tujuan membebaskan rakyat. Pemikiran Kim dipengaruhi oleh teologi Barat yang bercirikan sinkritisme injil yaitu bercampur agama dan budaya. Kemudian muncul aspirasi nasional untuk membebaskan diri dari penjajahan sehingga teologi ini akhirnya bercorak politis bukan hanya bercorak religi-kultural. Teologi ini memfokuskan diri pada dogma khususnya soteriologi atau penyelamatan dan pembebasan.

                                                                   

 

B.    Kemeredekaan Orang Korea

Perlawanan telah dilakukan oleh rakyat biasa untuk melawan setiap pemerintahan dan ekspansi asing yang berkuasa di negeri mereka sendiri hingga pada akhirnya mereka bebas dari penindasan secara politik pada tahun 1970. Perlawanan ini dibawah pengaruh Teologi Minjung sebagai penggerak dari kemerdekaan rakyat. Minjung menjadi tiang bangsa untuk menjadi benteng dalam mempertahankan negara dari kekuatan asing dan untuk membela hak rakyat. Tapi disisi lain Minjung dipahami sebagai konsep politik. Perang sering terjadi dan menjadi cara yang terutama dan harus dilakukan untuk menyingkirkan kesengsaraan dari hidup mereka. Hyun menyebutkan sejumlah contoh historis tentang bagaimana Minjung bereaksi terhadap kekuatan yang menindas:[11]

1.     Pemberontakan Manjuk. Gerakan ini dipimpin oleh seorang budak lelaki, ia mengorganisisr sebuah revolusi dengan membunuh orang-orang yang berkuasa, membakar buku cacatan pendaftaran budak dan merebut pemerintahan. Namun gerakan ini tidak berhasil karena ia berhasil ditangkap dan dihukum mati karena tindakannya yang melawan pemerintahan.

2.     Hwalbin-Dang (Partai Rakyat Miskin). Gerakan ini diorganisir dengan tujuan untuk merampok golongan kaya, orang yang korup dan kuil-kuil mereka. Hasil dari perampokkan itu dibagikan pada kaum miskin sebagai upaya untuk menghadirkan keadilan. Pada kemudian hari, gerakan ini dinamakan “perampok-perampok demi keadilan”.

3.     Revolusi Petani Tonghak. Gerakan ini dipimpin oleh Chun Bongjoon dari golongan para petani dengan tujuan memberontak kepada bagian pemerintahan atau para pejabat yang melakukan korupsi. 

 

Melalui perjuangan panjang dengan pengorbanan rakyat akhirnya membuahkan hasil kemerdekaan. Dengan diterbitkannya deklarasi kemerdekaan Korea pada 15 Augustus 1945 maka Korea dinyatakan merdeka dan mendapat kebebasan penuh tanpa penindasan. Peristiwa ini menjadi momentum yang penting dan bersejarah yang penting dalam kehidupan kaum Minjung. Dengan demikian rakyat memiliki kebebasan dan rakyat Korea sejajar dengan bangsa-bangsa lain, dimana hak mereka sudah dimiliki. Telah terjadi titik balik dalam sejarah bangsa Korea, penguasa bukan subjek sejarah lagi melainkan rakyat yang menjadi subjek sejarah bukan objek sejarah lagi. Mereka menjadi pelaku utama dan yang terpenting dalam cakrawala sejarah Korea.

Kehadiran Park Chung-Hee (1961-1978) sebagai pemimpin negara Korea membawa dampak buruk bagi rakyat, dimana tanah yang digunakan untuk bertani dijadikan lahan industri. Meskipun pada masa pemerintahan Park terjadi reformasi yang baik untuk membawa Korea kearah yang lebih baik, kemudian Park disebut sebagai bapak pembangunan, namun gaya kepemimpinannya membawa kemalangan bagi rakyat Korea terutama mereka yang bersikap oposisi terhadap atauran yang dibuatnya.

Park hanya memperbolehkan setiap para petani memiliki tiga hektar tanah. Tapi keadaan mulai memburuk disaat disahkan UU menganai Land Reform dimana pemerintah mengambil alih seluruh tanah dan sebagai imbalannya diberikan saham dari negara. Aturan yang dibuat sangat rumit bagi para petani sehingga mereka memilih untuk menjual dengan harga yang murah. Akibatnya hasil pertanian kurang dan perdagangan mereka terhambat/mengalami kerugian. Modal yang digunakan pemerintah dalam bidang pertanian dialihkan untuk berdagang, hasilnya mencapai 10% dari modal awal. Perdangangan membawa keberuntungan, sekitar tahun 1960-an Park Chung Hee mengubah alur kegiatan impor atau perdagangan menjadi industri. Semua pejabat dan pengusaha dipaksa mendukung perindustrian.

Pada tahun 1979 terjadi demonstrasi besar-besaran dimana rakyat menuntut supaya Park Cheng-Hee yang telah memerintah selama 18 tahun (1961-1979) turun dari kursi kepresidenan namun pada saat itu juga ditemukan tewas tertembak di Gedung Biru, dimana pembunuhnya adalah Kim Jae-gyu direktur Korena Central Intelligence Agency (KCIA).

 

C.    Teologi Minjung

Terdapat berbagai agama atau kepercayaan asli yang kuat di Korea, seperti shamanisme (aliran animisme) merupakan sinkritisme dari ajaran Budha dan ajaran Konghuchu,[12] Islam dan Kristen. Agama-agama tersebut berusaha untuk melakukan gerakan yang bisa menolong manusia yang berada dalam penderitaan supaya mengalami pemulihan dan kehidupan yang layak. Dari Kristen Korea melahirkan sebuah teologi yang disebut Minjung. Teologi Minjung telah menjadi dasar bagi para teolog Kristen untuk menyokong orang-orang miskin dan mengalahkan ketidakadilan dalam kehidupan duniawi. Gerakan ini membuat sebuah bangunan teologi melalui pendekatan yang berbeda dalam memahami Alkitab. Pendekatan mereka yang berbeda terhadap Alkitab di pengaruhi oleh keadaan dan situasi yang mereka alami pada saat itu, sehingga penafsiran mereka cenderung subjektif (kebutuhan penafsir) bukan obyektif lagi (makna teks yang sesungguhnya).

Secara tradisional Minjung memakai kerangka kerja filsafat atau ideologi terkait pihak penguasa sehingga teologinya dibangun dari beberapa sumber yaitu:[13]

a)     Sumber-sumber alkitabiah ditafsirkan guna menjelaskan bagaimana gerangan Allah berhubungan dengan Minjung, dalam hal ini In Syek seorang ahli Perjanjian Lama memaparkan kitab undang-undang Deutronomis untuk mendukung hak-hak orang miskin berdasarkan latar belakang historis sosial ekonomi orang Korea. Profesor Ahh Byung Mu menafsirkan Perjanjian Baru dengan beranjak dari kitab Markus dan menemukan kaitannya dengan keadaan Minjung.

b)     Menafsirkan ulang sejarah gereja dari perspektif Minjung dengan memandang sejarah gereja dari sudut pandang rakyat jelata untuk dapat menguak tradisi-tradisi yang “heterodoksikal”[14] dan tidak mapan yang berpadanan dengan aspirasi-aspirasi rakyat dalam masing-masing era.

c)     Perjuangan rakyat yang diekspresikan melalui sastra dan artistik sebagai aspirasi perjuangan.

 

Dari sumber teologi Minjung diatas maka mereka mempunyai pemahaman-pemahaman yang khas terkait dengan doktrinal iman Kristen yaitu:

1.     Konsep Minjung Tentang Allah dan Alkitab

Allah mendengar tangisan manusia dari tempat-tempat perjuangan  di seluruh dunia yaitu tangisan orang yang ditolak, orang yang diskriminasi, rasisme, tangisan rakyat yang berada dibawah kedikatatoran, tangisan orang miskin yang menjadi orang asing ditanahnya karena dikuasai oleh kapitalisme, tangisan orang-orang yang dipenjarakan karena ideologi politik seperti komunisme.[15]

Harapan mereka kepada Allah dengan keadaan yang mendesak membuat Kaum minjung memahami Alkitab sesuai kebutuhan mereka atau berdasarkan tujuan dari teologi yang mereka bangun. Para kaum Minjung menemukan keadaan yang sedang mereka alami seperti peristiwa yang dialami bangsa Israel  dari peristiwa kitab Keluaran, bagaimana kehidupan Israel yang mengalami perbudakan di Mesir, kemudian dibebaskan oleh Allah dan di tuntunnya sampai ketanah Kanaan. Peristiwa tersebut ditarik pada kehidupan mereka yang tertindas oleh penguasa dan dibebaskan oleh Allah. Pandangan ini sama dengan pernyataan Eta Linemmann mengenai teologi pembebasan yang melihat Allah dalam Alkitab sebagai pembebas, menghancurkan mitos-mitos dan segala keterasingan dan campur tangan dalam sejarah untuk mengahancurkan struktur yang tidak adil dengan menunjukkan jalan kebenaran dan belas kasihan kepada budak-budak dengan meruntuhkan penguasa-penguasa dan menegakkan orang yang tertindas.[16]

Kaum Minjung melihat kembali pada saat penciptaan awal manusia sebagai gambar dan rupa Allah yang memiliki hubungan yang khusus dengan-Nya seperti Adam dan Hawa.  Kitab Keluaran digunakan oleh Cyris Hee-Suk Monn untuk menjelaskan Israel mengalami pemulihan martabat untuk mencapai harkat manusia dan hak-hak asasi manusia dalam bimbingan dan perlindungan Allah.[17] Allah memulihkan manusia yang tertindas dan yang tidak berdaya untuk dijadikan sebagai manusia yang bebas dan memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya. Jadi Teologi Minjung memahami Allah sebagai pembebas dan Alkitab sebagai pendukung paham teologi mereka dengan cara mencari peristiwa di Alkitab mengenai pembebasan sesuai dengan kejadian yang mereka alami. Penulis melihat Alkitab dalam perspektif Minjung sebagai “The Solution Cover” karena Alkitab hanya digunakan untuk menjawab kebutuhan mereka bukan sebagai firman Allah. Teologi Minjung seperti sebuah buku yang covernya adalah Alkitab sedangkan isi buku tersebut adalah kekerasan, kebencian dan perjuangan untuk memperoleh kebebasan.

 

2.     Konsep Minjung Tentang Yesus

Sugirtharajah berkata bahwa Yesus berhubungan dan hidup bersama dengan Minjung, tidak sesekali-sekali Ia memuliakan dan menjauhkan diri-Nya melainkan makan dan minum bersama-sama dengan Minjung serta mengabulkan permintaan mereka.[18] Dengan kata lain Minjung mendapat perhatian khusus dari Yesus dan tidak ingin jauh dari mereka karena Yesus turut merasakan apa yang Minjung rasakan. “Dimana ada Yesus, disitu ada Minjung dan dimana ada Minjung, disitu ada Yesus”.[19] Kehadiran Yesus ditengah-tengah orang biasa adalah wujud dari keprihatinan dan belas kasihan dan keberpihakkan Yesus kepada orang biasa daripada orang kaya. Yesus lebih memilih orang biasa dari pada orang kaya karena orang biasa butuh penghiburan terhadap kemiskinan dan derita yang mereka alami. Dengan demikian Yesus adalah pribadi yang bisa mengerti dan memahami serta peduli akan kondisi yang sedang mereka alami pada saat itu. Pengertian tersebut membawa pada pemahaman dan fokus pada pribadi Yesus sebagai seorang yang memiliki rasa sosial tinggi dan kepedulian, bukan lagi sebagai Kristus penyelamat jiwa.

Bagi orang Yahudi, Mesias adalah anak Daud atau seorang raja dari keturunan Daud, seorang tokoh rajani yang dikaitkan dengan harapan kemenangan atas penindasan-penindasan kafir untuk menyelamatkan dan memulihkan Israel dengan menegakkan pemerintahan keadilan dan kebenaran Allah.[20] Dalam kacamata para teolog Minjung, Yesus dihubungan dengan kerajaan Mesianik untuk memulihkan orang-orang Korea bangkit dari penderitaan mereka. Pengertian mereka tentang Yesus sebagai personifikasi Minjung membawa dalam cara hidup Yesus yang senantiasa berdiri pada pihak yang tertindas, orang berduka, orang yang lemah dan orang yang sakit. Orang-orang yang memiliki keadaan seperti ini mendapat perhatian Yesus dan berada disekeliling Yesus untuk menemukan kedamaian dan ketenangan.

Orang yang diperlakukan terasing secara struktural dari tatanan masyarakat memperoleh pembelaan dari Yesus meskipun pada akhirnya Yesus menjadi korban kekerasan secara politik dari para penguasa Roma dan orang-orang Yahudi karena perhatian dan pembelaan-Nya. Yesus berbelas kasihan terhadap orang-orang yang diperlakukan semena-mena dan menggibaratkannya seperti domba yang tidak bergembala (Mrk. 6:34) sehingga mereka diajar Yesus supaya kuat dengan membangkitkan sukacita pada hati yang berduka dan lemah.

Kaum Minjung melihat hubungan Yesus dengan Minjung sebagai pembebas dan yang dibebaskan. Hati Yesus yang berpihak pada kaum tertindas dan orang-orang yang tidak mendapat perhatian dari para pemerintahan. Perjuangan Yesus berujung pada penangkapannya di Taman Getsemani, dicambuk, disiksa dan disalibkan hanya untuk membela hak-hak orang yang tidak mendapat perlakuan yang semsetinya di mata para pemimpin politis. Penderitaan Yesus dikaitkan dengan penderitaan yang dialami langsung pada masa pendudukan Jepang. Salib Kristus sebagai lambang dari penderitaan-penderitaan dan salib-salib mereka sendiri. Penderitaan yang dialami oleh orang-orang Kristen yang politis bukan menderita untuk diri mereka sendiri melainkan bagi seluruh rakyat Korea, sama seperti Yesus yang menderita di kayu salib untuk menebus seluruh umat manusia. Jadi, Kaum Minjung  memahami Yesus sebagai pembebas dan sebagai orang yang menaruh perhatian secara khusus terhadap pernindasan.

 

3.     Konsep Minjung Tentang Dosa

Melihat motif lahirnya teologi Minjung, maka arahnya pada pembebasan “soteriologi” sedangkan pembicaraan tentang dosa tidak lagi disingung karena mereka memahami dosa sebagai pemberontakan rohani terhadap Allah, seperti tidak berdoa atau tidak membaca Alkitab. Dosa tidak mempunyai makna “radikal” sebagai suatu pemberontakan terhadap Allah seperti dalam Mazmur 106:6, melainkan suatu status manusia dalam masyarakat dalam hubungan mereka dengan kelas penguasa.[21] Jadi, bagi Minjnung dosa adalah akibat dari kesalahan para penguasa dan orang miskin tidak pernah dituduh berdosa karena mereka korban dari dosa. Penguasa berdosa karena memperlakukan rakyat dengan tidak baik, sedangkan rakyat menjadi korban dari dosa penguasa karena menjadi korban penindasan.

Soteriologi disini adalah tujuan akhir dari rumusan teologi minjung untuk meraih kebebasan secara politik dan sosial dari orang-orang berkuasa. Kebebasan dari dosa dalam artian spiritual menjadi persoalan lain yang beda dari  kebebasan seperti yang diajarkan Yesus untuk melepaskan manusia dari belenggu dosa. 

Jadi, semua ajaran teologi Minjung tentang Allah, Kristsus, dosa dan iman tidak selaras dengan Alkitab, sekalipun menggunakan teks-teks Alkitab dan istilah yang Alkitabiah namun sesungguhnya konsep tersebut telah dikontrol oleh pikiran yang tidak dikehendaki Tuhan karena bernuansa politik dan kekerasan secara fisik. Mereka mencari ayat-ayat Alkitab yang secara eksplisit maupun inplisit mendukung doktrinnya supaya melegalkan pemahaman mereka yang kelihatan murni tapi politis. Semua teologi yang dibangun berdasarkan Alkitab hanya manipulasi untuk meraih cita-cita pembebasan sosial-politis karena Alkitab hanya diperalat untuk kepentingan politik.

 

D.    Tanggapan Terhadap Teologi Minjung

1.     Konservatif Teologi Minjung

Lee Oo Chung mengamati pemahaman rakyat Korea terhadap Mesias hanya dipahami dalam gambaran manusia yang hidup dalam sejarah dan yang mengasihi orang-orang lain sesamanya lebih dari diri-Nya sendiri dan demi kasih-Nya yang agung, mengalami penderitaan dan berkurban untuk menjadi sang Penyelamat umat manusia, sedangkan pengakuan orang Korea terhadap Yesus adalah Allah tidak menjadi inti dari Kristologi Minjung, maka Yesus adalah Mesias tidak terlalu menggetarkan perasaan.[22] Pengertian mereka terhadap Yesus hanya sebatas Mesias sebagai penyelamat mereka dari penindasan sedangkan sosok Yesus yang sama itu tidak menyentuh aspek spritualitas. Bagi penulis sendiri menganggap bahwa orang Korea bebas dari penjajahan secara fisik sedangkan jiwa mereka tetap diperbudak dan terbelunggu oleh dosa karena mereka memberikan diri diperbudak oleh keinginan jahat sebab kekerasanlah yang membuat mereka bebas bukan dasar kasih.

Yewangoe mengatakan bahwa para teolog harus bisa mengakui keterbatasan dalam menyuarakan perasaan-perasaan rakyat secara sempurna, sebab yang dikatakan oleh para teolog tidak selalu dari situasi rakyat yang sesungguhnya[23] melainkan isi hati para teolog untuk melawan kekejaman para penguasa. Akibatnya pembebasan yang dilakukan bukan untuk memulihkan manusia sebagai citra Allah melainkan pemberontakan.

 

2.     Kajian Biblika

Kaum Minjung membangun sebuah teologi melalui sistem hermeneutika kritik sosial atau penafsiran situasional dengan memaksakan Alkitab untuk menjawab kondisi manusia. Alkitab dipaksa untuk mendukung konsep mereka dengan titik berangkat dari isu-isu sosial, yaitu ketidakadilan, kemiskinan dan diskriminasi. Konsep  yang dipakai oleh para teolog minjung dalam membentuk teologinya sangat menekan teks, dimana mereka mengejar konteks dan meninggalkan teks Alkitab. Mereka berteologi dengan bertolak dari konteks bukan dari teks Alkitab, karena teks hanya digunakan untuk meneguhkan pemikiran mereka yang sudah dirumuskan berdasarkan kondisi konteks sosial mereka.[24] Dengan demikian konsep Minjung merupakan sebuah teologi yang menggunakan Alkitab sebagai pemoles dari kebutuhan sosial, Alkitab tidak dipakai sebagai mana mestinya yaitu Alkitab menerangkan dirinya sendiri sedangkan aplikasinya bagi penafsir adalah hasil dari tafsiran terhadap teks bukan dasar pemikiran yang terlebih dahulu kemudian Alkitab digunakan sebagai pendukung.

Teologi Minjung menempatkan pengalaman manusia sebagai titik tolak refleksi atas pengalaman penderitaan rakyat Korea daripada melihat Alkitab berbicara apa tentang kondisi Korea. Berkaitan dengan titik berangkat tersebut, maka tugas teologi Minjung lebih pada penafsiran situasi dan konteks Korea daripada Alkitab.

Sikap Minjung terhadap Alkitab tidak objektif karena Alkitab tidak dilihat seperti apa teks berbicara, melainkan apa yang dibutuhkan penafsir pada saat itu. Pemahaman Minjung terhadap Alkitab hanya sebagai buku bacaan dan bukan dasar yang utama melainkan peneguh pergumulan sosial dan beban hati supaya terlihat lebih Alkitabiah dan memiliki ciri kekristenan. Pendekatan Minjung merendahkan otoritas Alkitab dengan membatasi kuasa Tuhan untuk menyelesaikan permasalahan manusia. Kehadiran teologi tersebut sangat mendarat dihati orang Kristen yang telah mengharapakan hal tersebut, tapi sesungguhnya teologi Minjung menjadi Serigala berbulu domba yang tampak Alkitabiah namun buas karena pikiran dan perjuangannya memiliki muatan politis dan menghasilkan revolusi beradarah karena mengandalkan fisik untuk melakukan perlawanan. Revolusi ini membawa orang-orang Kristen menghilangkan konsep Kasih dengan mengatasnamakan pembebasan.

Ungkapan “Dimana ada Yesus, disitu ada Minjung dan dimana ada Minjung, disitu ada Yesus” seolah-olah menerangkan bahwa Yesus hanya milik orang Korea yang tertindas bukan Yesus bagi seluruh orang Korea atau seluruh dunia. Dan apabila kita lihat dalam Alkitab, Yesus tidak hanya memepdulikan orang tertindas melainkan Ia juga peduli terhadap orang kaya atau orang yang memeras orang miskin seperti Zakheus pemungut cukai. Bahkan Zakheus mengaku bahwa ia akan mengembalikan empat kali lipat kepada orang-orang yang dia peras karena pada zaman pemerintahan Romawi para pemungut cukai tidak hanya menarik pajak bagi Kaisar, disisi lain pemungut cukai memperkaya diri.

 

3.     Kontribusi Teologi Minjung

a)             Sisi positif Teologi Minjung

Dari bangunan teologi dan tujuan dari Minjung maka teologi ini sangat kontekstualisasi karena memberi contoh bagaimana seharusnya sebuah teologi dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia terutama dimana ia berada. Titik berangkat Minjung dari konteks Korea memberikan hasil natural dan praktis untuk mencapai hak-hak mereka sebagai citra Allah yang mulia. Dengan demikian, Minjung dapat menyeimbangkan dimensi spritual dan dimensi sosial sebagai aplikasi dari pemahaman Alkitab.

Hermeneutik yang digunakan oleh Minjung patut untuk diberikan apresiasi, dimana mereka menunjukkan suatu pendekatan Alkitab yang sangat mendarat dengan kehidupan manusia. mereka menjawab kebutuhan orang-orang Korea pada saat itu dengan memberikan solusi yang “Alkitabiah” sebagai seorang teolog Kristen. Minjung memberikan perhatian khusus kepada setiap orang (humanisme) terutama bagi mereka yang harus dibela haknya.

Teologi Minjung mampu memberikan teladan dalam menghadirkan sebuah teologi yang kontekstual dengan ciri gereja lokal atau wilayah, daerah atau negara. Selain itu, teologi ini memiliki keunikan dan ciri khas teologi yang dianggap ideal pada setiap daerah dan ini membuat setiap orang percaya mengerti bahwa Alkitab sanggup menjawab setiap persoalan-persoalan yang terjadi dalam kehidupan sosial. Dengan hadirnya teologi Minjung diharapkan mata para teolog terbuka bahwa mereka jangan sibuk dengan teologi atau khotbah dan persoalan-persoalan teologi melainkan Firman Allah harus mempunyai aplikasi yang mendarat secara langsung pada kehidupan nyata.

 

b)            Sisi negatif Teologi Minjung

Di satu sisi teologi Minjung memberikan hal positif karena memiliki kontribusi untuk menjawab setiap persoalan kaum Minjung (kontekstualisasi), namun disisi lain penulis menemukan kelemahan dari teologi ini. Adapun kelemahan atau sisi negatif dari Teologi Minjung adalah:

Pertama, teologi ini tidak berbicara lagi tentang dosa melainkan anugerah-anugerah Allah  melalui kebebasan yang di kerjakan pada kehidupan masyarakat Korea. Jika tidak berbicara lagi tentang dosa dan hanya anugerah maka manusia sedang dalam kesesatan sebab mereka tidak tahu bahwa anugerah itu diterima manusia berdosa setelah ditebus Yesus di kayu salib. Dosa mempengaruhi tujuan hidup manusia, mempengaruhi kehendak, mempengaruhi tubuh dan mempengaruhi orang lain supaya berbuat seperti yang dilakukannya. Jadi para teolog Minjung harus menyadari bahwa dosa harus menjadi pokok pembicaraan dalam diskusi mereka karena semua yang terjadi pada rakyat Korea akibat dosa dan tanpa kesadaran sebagai manusia berdosa serta pengenalan pada Kristus Yesus manusia di daerah Korea tetap dalam belenggu perbudakan dalam aspek rohani meskipun bebas secara politis. Kebebasan mereka didasari pada kebencian dan itu dosa bukan karena kasih.

Kedua, kaum Minjung memandang diri mereka sebagai korban dosa dari para penguasa sedangkan mereka tidak dituduh sebagai orang berdosa. Alkitab berkata bahwa “semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Roma 2:23 TB) dan setiap orang menangung dosanya sendiri tanpa menanggung dosa orang lain. Pemahaman Minjung tentang akibat dosa salah  karena Alkitab berkata bahwa upah dosa adalah maut (bnd. Roma 6:23) dan ini bersifat pribadi. Dosa membawa pada kematian rohani dan terpisahnya hubungan yang murni antara Allah dan manusia. Dengan demikian cara yang paling tepat adalah memperbaiki hubungan dengan Allah karena tanpa pemulihan identintas manusia sebagai orang yang diselamatkan tindakan manusia selalu membuahkan dosa meskipun itu terlihat benar (corak Minjung adalah  kejahatan melawan kejahatan).

Ketiga, mereka memusatkan perhatian saat ini pada zaman mereka berada bukan pada masa yang akan datang atau pada unsur kekekalan, lebih fokus pada manusia (humanism) yang bergerak untuk membebaskan diri sendiri, bukan tentang Allah sebagai pembebas manusia. Teologi yang keluar batas, sebab fondasi mereka bukan berdasarkan Alkitab, Allah dan Yesus melainkan kemanusiaan dan pembebasan.

Keempat, manusia sebagai subjek Alkitab karena teologi ini menggunakan Alkitab sebagai pendukung teori mereka sedangkan teori atau kondisi menjadi acuan pertama dalam membangun teologi mereka. Penulis mengumpamankannya sebagai alat transportasi yang mengantar para penumpang menuju tempat tujuan, kemudian pergi sedangkan penumpang tidak lagi menggunakan transportasi tersebut karena sudah tiba pada tempat yang hendak di tuju. Alkitab menjadi kendaraan Minjung memperoleh kebebasan. Alkitab penting karena mereka orang Kristen tapi mereka tidak memiliki “kasih” sebagai inti dari kekristenan.

Kelima, teologi Minjung lahir dari hasil pengalaman penderitaan dan penindasan bukan hasil dari intepretasi Alkitab sebagaimana hermeutika yang benar. Mereka memaksakan teks untuk menjawab konteks (kondisi dan kebutuhan orang Korea). Petrus berkata bahwa kitab suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri (2 Ptr. 1:21) sebab Alkitab Firman Allah sehingga disaat orang memakai nats Alkitab untuk kepentingan individu maka ia sedang melawan otoritas Firman Allah dan melawan kehendak Allah.

Kelima,  konsep Minjung mengenai Yesus tidak serta merta diartikan sebagai tokoh yang memperhatikan orang tertindas dan menderita, melainkan citra Yesus yang menyelamatkan semua orang berdosa ditiadakan. Yesus harus dipahami sebagai tokoh yang membangun spiritual manusia supaya mengenal Allah.

 


KESIMPULAN

Teologi Minjung hasil dari pergumulan orang-orang Korea yang mengalami penderitaan dan penindasan para pemimpin yang berkuasa ditanah Korea. Ahn Byeong-Mu, Hyun Yong Hak, Suk Nan Dong dan beberapa orang lainnya mencetuskan teologi Minjung dengan pendekatan sosial dan politik, sehingga hermeneutika yang digunakan difokuskan pada masalah hak manusia. Kekerasan dan kehilangan hak ditanah sendiri membuat rakyat kelas bawah (kaum Minjung) berusaha menjadi subjek sejarah menggantikan para penguasa. Pengalamaman, perlawanan, cerita hidup dan teologi Minjung terlihat melalui tari topeng, puisi, lagu-lagu dan seni yang mengungkapkan penderitaan yang sedang mereka alami, tapi ekspresi ini bernuansa ejekan dan balas dendam. Usaha Kaum Minjung untuk membebaskan diri dari penindasan menyebabkan banyak dari mereka kehilangan nyawa, namun pengorbanan serta kerja keras mereka membuahkan hasil, dimana kaum Minjung meraih kemerdekaan dengan demikian mereka memiliki persamaan kedudukan dan hak-hak yang selayaknya.

Teologi Minjung sangat kontekstualisasi dan memberikan dampak nyata yang bisa dinikmati oleh orang Korea, selain  itu Minjung memberikan teladan teologi aplikatif pada setiap teolog supaya teologi yang mereka pelajari dapat diaplikasikan pada kehidupan masyarakat dimana mereka berdomisi. Namun pada sisi lain interpretasi mereka terhadap Alkitab tidak bisa dicontoh karena motivasi mereka serta merta hanya untuk menjawab persoalan sosial tanpa memperhatikan kebutuhan spritual manusia.

Teologi Minjung mendasarkan pemahaman teologi mereka berdasarkan kondisi atau situasi yang terjadi pada saat itu. Firman Tuhan yang dikutip terlihat alkitabiah namun sesungguhnya hanya sebagai pendukung setiap gagasan dan ide mereka, dengan cara mencari ayat Alkitab yang cocok dengan kebutuhan dan kondisi sosial. Hermeneutika yang digunakan Minjung membuat mereka salah dalam menafsirkan Alkitab sehingga terjadinya kesesatan teologi hanya untuk memenuhi kebutuhan sosiologis dan politis. Kemerdekaan yang mereka peroleh hasil dari kekerasan bukan karena kasih sehingga menghilangkan ciri utama kekristenan yang lebih mengutamakan kasih. Jadi, semua ajaran teologi Minjung tentang Allah, Kristsus, dosa dan iman tidak selaras dengan Alkitab, sekalipun menggunakan teks-teks Alkitab dan istilah yang Alkitabiah pada teologinya namun sesungguhnya konsep tersebut telah dikontrol oleh pikiran yang tidak dikehendaki Tuhan karena bernuansa politik dan kekerasan secara fisik.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

M. Husein A. Wahab, Jurnal Substantia, (Fakultas Ushuludin UIN Ar-Raniry Kopelma Darusalam Kota Banda Aceh: VOL. 15, No. 2, Oktober 2013).

 

Kuster, Volker. 2017. Wajah-wajah Yesus Kristus: Kristologi Lintas Budaya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia).

Mawene, Marthinus Th. 2004. Teologi Kemerdekaan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia)

 

Lobo, Yanuarius & dkk. 1992. Yesus Kristus Harapan Kita: Sebuah Bunga Rampai, (NTT: Nusa Indah)

 

Putra, Eka Darma. 1988. Konteks Berteologi di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia)

 

Sukanto, Journal: Kristologi Dalam Bingkai Asia.

 

Culver, Jonathan E. 2014. Sejarah Gereja Asia, (Bandung: Biji Sesawi)

 

Elwood, Douglas J. 2006. Teologi Kristen Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia)

 

Lumintang, Steveri I. 2004. Theologia Abu-Abu, (Malang: Gandum Mas)

 

Yewangeo, A.A. 2004.  Theologia Crucis Di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia)

 

Eckardt, Roy. 2006. Menggali Ulang Yesus Sejarah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia)

 

Sugirtharajah, Rasiah S. 1994. Wajah Yesus di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia)

 

Lumintang, Steveri I. 2004. Theologia Abu-Abu, (Malang: Gandum Mas).

 

Jonge, Christian De. 2006.  Menuju Keesaan Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia)

 

 



[1] M. Husein A. Wahab, Jurnal Substantia, (Fakultas Ushuludin UIN Ar-Raniry Kopelma Darusalam Kota Banda Aceh: VOL. 15, No. 2, Oktober 2013). H. 219

[2] Christian De Jonge, Menuju Keesaan Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006). H. 176

[3] Eka Darma Putra, Konteks Berteologi di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988). H 293

[4] Sukanto, Journal: Kristologi Dalam Bingkai Asia. H. 6

[5] Yanuarius Lobo & dkk, Yesus Kristus Harapan Kita: Sebuah Bunga Rampai, (NTT: Nusa Indah, 1992). H. 276

[7] M. Darojat Ariyanto, Teologi Kristen Asia Modren di Asia, (Fakultas Agama Islam Universitas Muhamidayah Surarkarta: SUHUF, Vol 23, No.1, Mei 2011). H. 72

[8] Karya sastra Kim Chi Ha menuliskan kata-kata inspirasi Han dari Minjung sebagai salah satu momen paling penting dari biografi sosial Minjung.

[9] Volker Kuster, Wajah-wajah Yesus Kristus: Kristologi Lintas Budaya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017. )H. 206

[10] Yushin Constution adalah kebijakan yang di buat Park:. Isi Yushin tersebut adalah Park berhak memilih sepertiga dari anggtoa majelis Nasional dengan tujuan supaya tidak ada orang yang bisa menghentikannya sebab kemiliteran sudah ada ditangannya. Media diarahkannya memberikan informasi sesuai keinginannya, apabila tidak diikuti Park akan menangkap mereka. Politikus dan dan akademisi akan ditangkap jika bersikap oposisi terhadap aturan yang telah ditetapkannya.

[11] Dr. A.A. Yewangeo, Theologia Crucis Di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004). H 133

[12] Dr. Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Asia, (Bandung, Biji Sesawi, 2014). H 228-229

[13] Douglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006). H 356-357

[14] Heterodoksikal artinya menyimpang dari kepercayaan resmi. Dikutip dari https://www.kamusbesar.com/heterodoks pada tanggal 9 Oktober 2019, pkl 15.10

[15] Pdt. Dr. Steveri I. Lumintang, Theologia Abu-Abu, (Malang: Gandum Mas, 2004). H 397

[16] Prof. Dr. Eta Linnemann, Teologi Kontemporer: Ilmu atau Praduga?, (Jawa Timur: Persekutuan Pelayanan Injili Indonesia, 2006). H. 181

[17] Dr. A.A. Yewangeo, Theologia Crucis Di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004). H. 169

[18]R.S. Sugiharajah, Wajah Yesus Asia,(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011). H 261

[19]Ibid. 261

[20] A. Roy Eckardt, Menggali Ulang Yesus Sejarah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006). H. 30

[21] Dr. A.A, Theologia Crucis di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004). H. 357

[22] Rasiah S. Sugirtharajah, Wajah Yesus di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994). H. 368-369

[23] A,A, Yewangeo, Theologi Crucis di Asia. 331

[24] Pdt. Dr. Steveri I. Lumintang, Theologia Abu-Abu, (Malang: Gandum Mas, 2004). H. 403


Belum ada Komentar untuk "“The Minjung Thelogy” JALAN MENUJU KEMERDEKAAN KOREA"

Posting Komentar

ARTIKEL YANG SERING DIBACA

ARSIP PUSTAKA

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel